Cari Blog Ini

Sabtu, 19 Maret 2011

pembelajaran matematika dan problem possing

Hakekat Pembelajaran Matematika di SD
Pengertian Matematika Sekolah
             Matematika merupakan mata pelajaran yang diajarkan dari jenjang pendidikan dasar sampai jenjang perguruan tinggi. Matematika mempunyai definisi yang dapat diungkapkan oleh beberapa pakar, diantaranya oleh Suherman (dalam Syarifuddin, 2009:3) bahwa matematika sekolah merupakan bagian matematika yang diberikan untuk dipelajari oleh siswa sekolah (formal), yaitu SD, SMP, dan SMA.
Menurut Soedjadi (dalam Amiruddin, 2010:10) matematika sekolah adalah bagian atau unsur dari matematika yang dipilih antara lain dengan pertimbangan atau berorientasi pada pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa matematika sekolah adalah matematika yang telah dipilah-pilah dan disesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa, serta digunakan sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir bagi para siswa.
Karakteristik Matematika SD
Matematika mempunyai penyusunan materi yang khas dibandingkan dengan ilmu yang lain. Menurut Reyt.,et al. (dalam Amiruddin, 2010:10)
Matematika adalah (1) studi pola dan hubungan (study of patterns and relationships) dengan demikian masing-masing topik itu akan saling berjalinan satu dengan yang lain yang membentuknya, (2) Cara berpikir (way of thinking) yaitu memberikan strategi untuk mengatur, menganalisis dan mensintesa data atau semua yang ditemui dalam masalah sehari-hari, (3). Suatu seni (an art) yaitu ditandai dengan adanya urutan dan konsistensi internal, dan (4) sebagai bahasa (a language) dipergunakan secara hati-hati dan didefinisikan dalam term dan symbol yang akan meningkatkan kemampuan untuk berkomunikasi akan sains, keadaan kehidupan riil, dan matematika itu sendiri, serta (5) sebagai alat (a tool) yang dipergunakan oleh setiap orang dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

Agar dalam penyampaian materi matematika dapat mudah diterima dan dipahami oleh siswa, guru harus memahami tentang karakteristik matematika sekolah. Menurut Soedjadi (dalam Amiruddin, 2010:10) matematika memiliki karakteristik yaitu “(1) memiliki obyek kajian abstrak, (2) bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola piker deduktif, (4) memiliki symbol yang kosong dari arti, (5) memperhatikan semesta pembicaraan, dan (6) konsisten dalam sistemnya.” Sedang menurut Depdikbud (1993:1) matematika memiliki ciri-ciri, yaitu (1) memiliki obyek yang abstrak, (2) memiliki pola piker deduktif dan konsisten, dan (3) tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Berdasarkan hal tersebut di atas dalam pembelajaran matematika perlu disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa, dimulai dari yang konkrit menuju abstrak. Namun demikian meskipun obyek pembelajaran matematika adalah abstark, tetapi mengingat kemampuan berpikir siswa SD yang masih dalam tahap operasional konkrit, maka untuk memahami konsep dan prinsip masih diperlukan pengalaman melalui obyek konkrit. Soedjadi (dalam Syarifuddin, 2009:6) mengungkapkan bahwa ”Suatu konsep diangkat melalui manipulasi dan observasi terhadap obyek konkrit, kemudian dilakukan proses abstraksi dan idealisasi.”
Pelaksanaan pembelajaran matematika juga dimulai dari yang sederhana ke kompleks. Menurut Karso (dalam Syarifuddin, 2009:5) “Matematika mempelajari tentang pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan.” Konsep-konsep matematika tersusun secara hirarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Jadi belajar matematika adalah belajar sesuatu hal yang terus berkesinambungan. Bisa  dikatakan dalam pembelajaran matematika  antara materi yang satu dengan materi yang lain selalu berhubungan.
Skemp (dalam Amiruddin, 2010:11) menyatakan bahwa “Dalam belajar matematika meskipun kita telah membuat semua konsep itu menjadi baru dalam pikiran kita sendiri, kita hanya bisa melakukan semua ini dengan menggunakan konsep yang kita capai sebelumnya.” Berdasarkan hal tersebut dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Dengan demikian dalam mempelajari matematika, konsep sebelumnya harus benar-benar dikuasai agar dapat memahami konsep-konsep selanjutnya. Hal ini tentu saja membawa akibat kepada bagaimana terjadinya proses belajar mengajar atau pembelajaran matematika. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika tidak dapat dilakukan secara melompat-lompat tetapi harus tahap demi tahap, dimulai dengan pemahaman ide dan konsep yang sederhana sampai kejenjang yang lebih kompleks. Seseorang tidak mungkin mempelajari konsep lebih tinggi sebelum ia menguasai atau memahami konsep yang lebih rendah. Berdasarkan hal tersebut mengakibatkan pembelajaran berkembang dari yang mudah ke yang sukar, sehingga dalam memberikan contoh guru juga harus memperhatikan tentang tingkat kesukaran dari materi yang disampaikan, dengan demikian dalam pembelajaran matematika contoh-contoh yang diberikan harus bervariasi dan tidak cukup hanya satu contoh.
Disamping itu pembelajaran matematika hendaknya bermakna, yaitu pembelajaran yang mengutamakan pengertian atau pemahaman konsep dan penerapannya dalam kehidupan. Agar suatu kegiatan belajar mengajar menjadi suatu pembelajaran yang bermakna maka kegiatan belajar mengajar harus bertumpu pada cara belajar siswa aktif. Menurut Chickering dan Gamson (dalam Amiruddin, 2010:13) “Dalam belajar aktif siswa harus melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar mendengarkan, untuk bisa terlibat aktif para siswa itu harus terlibat dalam tugas yang perlu pemikiran tingkat tinggi seperti tugas analisis, sintesis, dan evaluasi.” Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan pembelajaran yang berorientasi pada siswa, guru harus berusaha mencari metode mengajar yang dapat menyebabkan siswa aktif belajar.
Pembelajaran matematika hendaknya menganut kebenaran konsistensi yang didasarkan kepada kebenaran-kebenaran terdahulu yang telah diterima, atau setiap struktur dalam matematika tidak boleh terdapat kontradiksi. Matematika sebagai ilmu yang deduktif aksiomatis, dimana dalil-dalil atau prinsip-prinsip harus dibuktikan secara deduktif. Tetapi mengingat kemampuan berpikir siswa SD, penerapan pola deduktif tidak dilakukan secara ketat. Hal itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soedjadi (dalam Syarifuddin, 2009:7) bahwa struktur sajian matematika tidak harus menggunakan pola pikir deduktif semata, tetapi dapat juga digunakan pola pikir induktif. 
Tujuan Pembelajaran Matematika di SD
Pembelajaran merupakan seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar peserta didik, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian internal yang berlangsung di dalam peserta didik. Pengaturan peristiwa pembelajaran dilakukan secara seksama dengan maksud agar terjadi belajar dan membuat berhasil guna. Oleh karena itu pembelajaran perlu dirancang, ditetapkan tujuannya sebelum dilaksanakan dan dikendalikan pelaksanaannya.
            Pembelajaran berbasis Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dapat didefmisikan sebagai suatu proses penerapan ide, konsep, dan kebijakan KTSP dalam suatu aktivitas pembelajaran, sehingga peserta didik menguasai seperangkat kompetensi tertentu sebagai hash interaksi dengan lingkungan. Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.
Sedangkan tujuan mata pelajaran matematika yang tercantum dalam KTSP pada SD/MI (Depdiknas,2006:417) adalah sebagai berikut:
a.       Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
b.      Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c.       Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
d.      Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
e.       Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Adapun tujuan pembelajaran matematika di SD sebagaimana di kemukakan Holmes (dalam Wita, 2009:6) yang tercantum dalam NCTM ( National Council of Teacher of Mathematics ) adalah :
1.      mengembengkan kemampuan pemecahan masalah
2.      mengembangkan kemampuan penalaran
3.      mengembangkan kemampuan prosedural
4.      mengembangkan sikap positif, dan
5.      mengembangkan kemampuan untuk bekerjasama dan berkomunikasi dengan orang lain.

Secara khusus tujuan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menurut Mulyasa (2006:22) adalah untuk:
a.       Meningkatkan mute pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola, dan memberdayakan somber daya yang tersedia.
b.      Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.

Meningkatkan kompetensi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai. Berdasarkan beberapa kutipan di atas maka tujuan pembelajaran matematika di SD adalah untuk mengenalkan konsep matematika serta diharapkan siswa dapat menggunakan konsep tersebut untuk pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan mengembangkan kemampuan berpikir siswa.
Adapun ruang lingkup materi atau bahan kajian matematika di SD/MI (dalam Amiruddin, 2010:15) mencakup” (a) bilangan, (b) geometri dan pengukuran, dan (c) Pengolahan data. 

Pendekatan Poblem Posing
Pengajuan Soal dalam Pandangan Konstruktivis
            Konstruktivis memerupakan salah satu pendekatan dalam tori psikologi kognitif. Maksud dari hal ini dimana siswa sebagai pembelajar harus membangun kembali pengetahuannya. Secara individu siswa harus menemukan dan mentrasportasikan informasi yang ditemukan, memeriksa informasi yang baru ditemukan dengan aturan yang ada dan merevisi kembali bila perlu dan guru hanya sebagai fasilitator.
            Prinsip-prinsip dasar pandangan konstruktivisme menurut Suparmo (dalam Safril, 2008:19) adalah sebagai berikut.
a.       Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun secara sosial,
b.      Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa menalar,
c.       Siswa aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah,
d.      Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.

            Menurut Hudojo (1998:7) pembelajaran matematika yang berkonstruksi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut “(a) siswa terlibat aktif dalam belajarnya, siswa belajar materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berfikir, (b) informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa.”
            Pengajuan soal (Problem Posing) merupakan tugas kegiatan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk bersikap kreatif, kritis dan bertanggung jawab. Sebab dalam pengajuan soal, siswa diminta untuk membuat pertanyaan dari informasi yang diberikan. Selain membuat soal, siswa diberikan kesempatan aktif untuk menyelidiki pertanyaan yang diberikan serta dapat mempertanggung jawabkannya baik secara mental, fisik dan sosial serta siswa dapat membuat jawaban yang benar sesuai aturan yang ada.

            Pemberian tugas pengajuan soal dapat dipandang sebagai salah satu bentuk pembelajaran menurut pandangan kontruktivisme. Hal tersebut dikarenakan dalam pengajuan soal siswa diharuskan membangun pengetahuannya sendiri tentang bagaimana mengajukan soal yang dapat mereka pahami, karena soal tersebut harus diselesaikan sendiri. Dalam pengajuan soal dapat melibatkan siswa lebih aktif  dalam belajar secara mental dan sosial sebab hasil dari soal yang diajukan akan didiskusikan dikelas secara bersama-sama.
            Menurut Johar (2006:10) “Oleh karena aktivitas Problem Posing seiring dengan pandangan konstruktivisme maka secara umum Problem Posing dapat diterapkan pada materi pelajaran walaupun contoh Problem Posing yang banyak ditemukan berkaitan dengan penerapannya dalam pembelajaran matematika.”
Pengertian Pendekatan Problem Posing
            Pengertian pendekatan (approach) dalam literatur pembelajaran matematika adalah suatu cara atau prosedur yang ditempuh guru dalam pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan dapat beradaptasi dengan siswa serta mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Soedjadi (2000:16) mengklasifikasikan pendekatan menjadi dua, yaitu ”(a) pendekatan materi (material approach), yaitu proses penjelasan topik matematika tertentu menggunakan materi matematika lain, dan (b) pendekatan pembelajaran (teaching approach), yaitu proses penyampaian atau penyajian topik matematika tertentu agar mempermudah siswa dalam memahaminya.”
            Penerapan pendekatan dalam proses belajar mengajar diarahkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar dalam diri siswa agar mampu mengelola hasilnya. Dalam memperoleh hasil yang dibutuhkan pendekatan yang dilakukan guru. Johar (2006:14) menyatakan bahwa ”Pendekatan dalam belajar merupakan pengembangan aspek kognitif sebagai bekal untuk dapat memecahkan persoalan yang dihadapi siswa dalam kehidupannya dan untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik.”
            Pembelajaran matematika melalui pendekatan Problem Posing telah menarik perhatian dari berbagai kalangan, diantaranya Asosiasi Guru-guru Matematika di Amerika Serikat, yaitu Nation Council for Teacher of Mathematic (NCTM). Mereka menyarankan upaya meningkatan mutu pembelajaran matematika dengan  penekanan pada pengembangan kemampuan peserta didik dalam pengajuan soal. NCTM (dalam Budiono, 2004:22) berpendapat bahwa ”Problem Posing (pengajuan soal) merupakan the heart of doing mathematic.” NCTM merekomendasikan agar para siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengalami membuat /mengajukan soal sendiri.
            Dari pendapat di atas, problem posing bermakna mengajukan masalah atau soal. Dan juga dapat diartikan sebagai pembuatan masalah baru dan merumuskannya kembali masalah yang diberikan. Berdasarkan pendapat di atas, yang dimaksud dengan pendekatan pembelajaran matematika adalah cara seorang guru dalam menyampaikan pelajaran matematika sehingga nantinya siswa dapat memahami dengan baik dalam proses penyampaian materi matematika yang dilakukan guru tersebut.
            Silver (dalam Yuhasriati, 2002:10) berpendapat bahwa ”Pendekatan Problem Posing merupakan suatu aktifitas dengan dua pengertian yang berbeda, yaitu (1) proses mengembangkan masalah/soal matematika yang baru oleh siswa berdasarkan situasi yang ada dan (2) proses mengformulasikan kembali masalah/soal matematika dengan bahasa sendiri berdasarkan situasi yang diberikan.”
            Suryanto (dalam Safril, 2008:17) membagi definisi Problem Posing menjadi tiga yaitu:
a.       Problem Posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai. Hal ini terjadi dalam pemecahan soal-soal yang rumit, dengan pengertian bahwa problem posing merupakan salah satu langkah dalam menyusun rencana pemecahan masalah.
b.      Problem Posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka pencarian alternatif pemecahan atau alternatif soal yang relevan
c.       Problem Posing adalah perumusan soal atau pembentukan soal dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelumnya, ketika, atau setelah pemecahan masalah.

            Dari pendapat di atas Problem Posing merupakan suatu langkah atau cara pemecahan permasalahan  dalam rangka mencari  jalan alternatf baik sebelum dan sesudah dalam pemecahan masalah.
            Selanjutnya Silver (dalam Rahmad, 2006:85) mengemukakan tiga bentuk aktivitas kognitif yang berbeda terkait dengan Problem Posing, yaitu sebagai berikut.
a         Presolution Posing, yaitu seorang siswa menghasilkan soal yang berasal dari situasi atau stimulus yang disajikan  atau diberikan.
b        Within Solution Posing, yaitu seorang siswa merumuskan kambali soal seperti yang sedang diselesaikan.
c         Post Solution Posing, yaitu seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah dipecahkan untuk menghasilkan soal yang baru.

Yuhasriati (2002:19), mengemukakan bahwa “Pembelajaran dengan Problem Posing terdiri dari empat bagian pokok yang meliputi pendahuluan, penyajian materi, pengajuan soal, dan penutup.” Adapun langkah-langkah pembelajaran tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1. Langkah-langkah Pembelajaran yang Memuat Problem Posing
Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa
1.      Memberitahukan tujuan pembelajaran
2.      Mengingat kembali materi sebelumnya yang relevan
3.      Menyajikan materi pelajaran
4.      Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti
5.      Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengajukan soal dari informasi yang diberikan
6.      Mempersilakan siswa untuk menyelesaikan soal untuk diajukannya
7.      Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan dari materi yang dipelajari
1.      Memahami  tujuan pembelajaran
2.      Berusaha mengingat lagi materi yang diingatkan guru
3.      Memperhatikan dan mencoba memahami materi pelajaran
4.      Bertanya hal-hal yang belum dimengerti
5.      Mengajukan soal berdasarkan informasi yang diberikan
6.      Menyelesaikan soal yang diajukan
7.      Berusaha untuk dapat menyimpulkan materi yang dipelajarinya
(Sumber: Safril, 2009:18)

            Brown, (dalam Yuhasriati, 2002:19), menggambarkan bahwa kondisi Problem Posing dapat berupa gambar, benda manipulatif, permainan, teori atau konsep, soal atau selesaian suatu soal. Sedangkan Suprayitno (dalam Safril, 2008:18), menyatakan bahwa “Kondisi Problem Posing dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu kondisi bebas, semi struktur, dan terstruktur.”
            Berdasarkan pendapat di atas dalam penelitian ini problem posing merupakan perumusan soal atau pertanyaan dari suatu permasalahan yang ada. Pemberian soal ini untuk mengembangkan dan menguatkan konsep-konsep yang telah diajarkan dan memperkaya teknik dalam menyelesaikan masalah.

Pendekatan Problem Posing dalam Peningkatan Kemampuan Matematika Siswa

            Pembelajaran dengan Problem Posing menuntut siswa untuk membuat soal atau pertanyaan dari informasi yang diberikan dan diminta menyelesaikan soalnya sendiri atau oleh temannya sendiri. Hal tersebut yang sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yaitu agar siswa dapat berpikir logis, kritis dan sistematis dengan memakai pola pikir matematis. Selain itu siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan Problem Posing dapat mengembangkan rasa ingin tahu siswa dengan diberikan kesempatan untuk secara aktif merumuskan soal dan mendorong siswa untu lebih bertanggung jawab terhadap yang dilakukannya.
            Sebelum mengajukan soal, siswa terlebih dahulu membaca informasi yang diberikan dan mengkomunikasikan soal secara lisan maupun tertulis. Menulis pertanyaan dari informasi yang ada dapat menyebabkan siswa lebih baik dalam berpikir serta dapat merangsang siswa dalam mencerna informasi dan menganalisis untuk dijadikan pertanyaan. Dalam menyelidiki apa yang dipelajarinya, pengetahuan dapat bertahan lama serta dapat menerapkannya selama kegiatan belajar.
            Pembelajaran melalui pendekatan Problem Posing menunjukkan bahwa dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam matematika. Selain hal tersebut, juga dapat melibatkan aktifitas mental, pikiran dalam menyelidiki masalah kemudian menyelesaikan suatu soal secara baik dan benar. Sehingga nantinya pengetahuan dan keterampilan berfikir dapat meningkat lebih baik.
            Cars (dalam Safril, 2008:22) menyatakan bahwa ”Untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal dapat dilakukan dengan cara membiasakan siswa mengajukan soal.” Lebih lanjut Winograd (dalam Safril, 2008:22) mengemukakan bahwa ”Pembelajaran Problem Posing dapat menumbuhkan penguasaan sikap positif terhadap matematika sehingga dapat meningkatkan penguasaan matematika siswa.”
            Dengan demikian, pengembangan kemampuan pengajuan soal (Problem Posing) sangat sesuai dengan tujuan pembelajaran di sekolah dan sangat diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Dengan adanya pemecahan masalah juga dapat merupakan komponen yang harus dikuasai siswa dalam pembelajaran dan pemecahan masalah berkorelasi dengan kemampuan pengajuan soal.
            Johar (2006:14), menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran Problem Posing mempunyai beberapa kelebihan, antara lain:
1.      Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencapai pemahaman yang  lebih luas dan menganalisis secara lebih mendalam tentang suatu topik
2.      Memotifasi siswa untuk belajar lebih lanjut
3.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan sikap kreatif, bertanggung jawab dan inovatif
4.      Pengetahuan akan lebih bermakna sehingga lebih lama diingat siswa
            Berdasarkan pendapat dan ulasan di atas menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan Problem Posing dapat meningkatkan mutu pembelajaran yang diikuti dan dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar. Sejalan dengan upaya peningkatan mutu dan hasil belajar matematika yang terus digalakkan, maka pembelajaran matematika melalui pendekatan problem posing dipandang sangat relevan.
            Adapun kelemahan dari pendekatan Problem Posing yang dikemukakan oleh Silver dan Car (dalam Yuhasriati, 2002:17) yaitu:
Salah satu kelemahan dari penggunaan pendekatan problem posing ini berkaitan dengan penguasaan bahasa dimana siswa  mengalami kesulitan dalam membuat kalimat tanya. Akan tetapi kelemahan ini dapat diatasi dengan lebih banyak memberikan kesempatan bagi siswa untuk berlatih dalam membuat kalimat-kalimat tanya yang berhubungan dengan masalah yang diharapkan.

Dari pendapat di atas kelemahan Problem Posing tidaklah sangat berpengaruh dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Namun perlu ditingkatkan lagi atau melatih kemampuan siswa dalam membuat kalimat yang berkaitan dengan permasalahan dengan matematika.
            Meningkatkan pemahaman siswa dalam memecahkan permasalahan yang lebih luas dalam memahami soal serta dapat meningkatkan daya menganalisa setiap soal yang lebih dalam memecahkan persoalan. Pembelajaran dengan pendekatan Problem Posing dapat meningkatkan motifasi siswa dalam mengajukan soal. Dengan pengajuan soal siswa tampil percaya diri terhadap soal yang diajukannya serta menyelesaikan dengan sempurna.
            Kemudian dengan adanya pendekatan Problem Posing siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan kreatifitasnya dalam mengajukan soal serta menyelesaikannya. Setiap soal yang diajukannya dapat dipertanggungjawabkan kepada teman-teman dan kepada gurunya.
Pendekatan Problem Posing melibatkan siswa lebih aktif, kreatif dan inofatif dalam mengajukan soal sehingga pengetahuan yang diperolehnya tidak semata pada saat itu saja diingat melainkan dapat bertahan lama serta bermakna bagi siswa tersebut. Dengan demikian pendekatan Problem Posing sangatlah baik dalam meningkatkan prestasi belajar yang sekarang ini digalakkan dalam pembelajaran matematika khususnya,karena dianggap sulit oleh siswa. Dengan pendekatan Problem Posing siswa dapat meningkatkan pemahaman, menganalisa, motifasi, kreatif, bertanggung jawab, inovatif serta pengetahuan dapat lebih bermakna dan tahan lama.

3 komentar:

  1. Tulisan yang sangat bernas sekali, boleh saya tahu referensinya Mas? Kalau ada boleh dikirimi ke e-mail saya ya Mas. Ini e-mail saya: jonsenrambe@gmail.com. Trims ya Mas.

    BalasHapus
  2. tulisan bapak sangat membantu... :)

    BalasHapus